Pawai obor menyambut 1 Muharram 1444 Hijriah, Jumat (29/7/22) malam di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Oleh: Ateng Chozany Miftah
SIAPBELAJAR.COM - Waktu terus bergulir tanpa sesaatpun bisa diberhentikan. Tidak terasa, atas karunia Allah SWT alhamduillah kini kita sudah berada di bulan Muharram, Tahun Baru Hijriyah 1444 dalam keutuhan Iman dan Islam.
Kedudukan kalender (perhitungan
waktu) Hijriyah sangat penting bagi umat Islam, karena kalender Hijriyah
merupakan kalender yang dijadikan acuan kaitannya dengan waktu-waktu
pelaksanaan beberapa syari’at Islam, seperti penentuan datangnya wajib haji,
wajib puasa, haul zakat, ibadah Qurban dan lain sebagainya. Dasar perhitungan
yang digunakan adalah peredaran bulan. Hal tersebut mengacu kepada firman
Allah:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (QS:Al-Baqarah:189)..
Itulah
sebabnya tahun Hijriyah sering disebut dengan “Tahun Qomariyah”, berbeda dengan
Tahun Masehi yang basis perhitungannya berdasar peredaran matahari sehingga
disebut “Tahun Syamsiyah”.
Menurut tinjauan sejarah, sebutan
Tahun Hijriyah, erat kaitannya dengan dijadikannya peristiwa hijrah Rasulullah s.a.w
sebagai patokan waktu dimulainya sistim penanggalan. Hal tersebut diputuskan
dalam Musyawarah para sahabat yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khathab. Salahsatu
dasar atau alasannya, dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khathab selaku pimpinan
musyawarah. Beliau mengungkapkan: “Peristiwa Hijrah menjadi pemisah
antara yang benar dan yang bathil, jadikanlah ia sebagai patokan dimulainya penanggalan”.
Sedangkan dijadikannya bulan
Muharram sebagai awal bulan, karena tekad dan semangat bahkan keputusan kaum
Muslimin untuk melakukan hijrah (dari kota Makkah) kala itu, mulai muncul dan terjadi
pada bulan Muharram yang diawali dengan “baiat”. Walaupun pelaksanaan
hijrah secara menyeluruh baru terjadi pada pertengahan bulan Rabi’ul Awwal
(Maulud), berati sekitar 2 bulan sejak baiat.
Dipilihnya perisistiwa hijrah sebagai patokan awal penanggalan, menunjukan serta memberi makna kepada kita betapa pentingnya nilai peristiwa atau momentum hijrah dikaitkan dengan aspek kehidupan beragama ummat Islam.
Untuk
itulah, maka setiap bertemu kembali dengan bulan Muharram memasuki Tahun Baru Hijriyah, kiranya penting bagi
kita untuk menyegarkan kembali perenungan dan penghayatan serta perefleksian terhadap
spirit yang muncul di bulan Muharram
dan terkandung dalam peristiwa hijrah tersebut saat itu.
Ungkapan alasan Khalifah Umar bin
Khathab menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan awal perhitungan penanggalan
diatas, kiranya merupakan salahsatu nilai makna hijrah yang penting kita
renungkan serta kita hayati. Kalimat “menjadi pemisah antara yang benar
dengan yang bathil” dapat kita maknai bahwa dalam peristiwa hijrah ada
spirit yang sangat kuat dalam kalangan kaum muslimin saat itu untuk
“meneguhkan sikap serta tekad beristiqomah dalam keimanan dan ke-Islaman”. Walaupun kaum kafir dan musyrikin membenci
bahkan mengancamnya”. Sikap peneguhan hati seperti yang tersirat dalam
penggalan bacaan kalimah Takbir yang sering menggema setiap Idul Fitri atau Idul
Adha tiba:
لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَلَانَعْبُدُ
اِلَّا اِّيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
“Tiada
Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan
agama Islam sekalipun orang-orang kafir dan musyrikin membencinya”
Inilah
spirit pertama yang kiranya perlu kita evaluasi
serta kita revitalisasi dalam jiwa kita setiap kali kita berjumpa kembali
dengan bulan Muharram memasuki Tahun Baru Hijriyah,. Kita perkuat kembali tekad serta keteguhan hati untuk tetap
istiqomah dalam keimanan dan ke-Islaman, ditengah-tengah semakin kuatnya
tekanan peradaban dalam tatakehidupan yang kalau tidak diwaspadai banyak
hal-hal yang dapat mendegradasi keistiqomahan kita dalam keimanan dan
ke-Islaman.
Di samping spirit tersebut, ada
spirit lain (yang kedua) yang juga perlu kita renungkan dan kita
refleksikan ke dalam semangat keberagamaan kita. Yaitu spirit yang
terkandung dalam harapan yang ingin dicapai oleh kaum Muslimin kala itu ketika memutuskan
berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Seperti kita ketahui, ada kondisi umum
yang dihadapi kaum muslimin dalam menjalankan kehidupan beragama di kota Makkah
saat itu. Yaitu kondisi yang tidak kondusif, baik untuk dapat menjalankan kehidupan beragama
demikian pula untuk kepentingan Dakwah Islam. Hal tersebut terutama disebabkan oleh
semakin meningkat serta massifnya tekanan-tekanan dari kaum kafir Quraisy kala
itu. Baik berupa tekanan psikis demikian pula tekanan secara pisik, seperti
diantaranya:
- Dalam
kurun waktu 13 tahun Rasulullah mendakwahkan Islam, selalu mendapat penentangan
disertai tekanan-tekanan yang kuat dari kaum kafir Quraisy.
- Semakin
kejamnya perlakuan kaum kafir Quraisy terhadap umat Islam bahkan terhadap diri Rasulullah sendiri,
sampai pada puncaknya pimpinan kaum kafir Quraisy akan membunuh Rasulullah.
Sementara itu, kondisi di madinah
dipandang lebih kondusif untuk mendukung
kehidupan beragama serta dakwah Islam, antara lain:
- Di
Madinah sudah banyak penduduk yang memeluk Islam;
- Kondisi
yang belum baik sehingga perlu dihijrahkan kepada kondisi yang lebih baik tersebut,
boleh jadi masih ada Masyarakat Madinah yang sebelumnya sudah memeluk agama
samawi,lebih mudah untuk menerima Islam;
- Madinah
yang berada di jalur perdagangan antara Yaman dengan Syam (sekarang Syuriah),
memiliki letak geografis yang startegis dikaitkan dengan kepentingan dakwah Islam.
Kalau kita simpulkan dari latar
belakang keputusan untuk berhijrah tersebut, inti spirit kedua ini tiada
lain adalah “semangat untuk berpindah/berhjrah
dari kondisi yang tidak baik ke kondisi yang lebih baik dikaitkan dengan kehidupan
beragama”. Atas dua spirit utama dari berhijrah inilah,
kiranya Allah menyebutkan dalam firman-Nya, bahwa orang-orang yang berhijrah
karena Allah termasuk orang-orang yang ditinggikan derajatnya serta akan
memperoleh kemenangan hidupnya.
“Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan”. (QS:At-Taubah:20).
Sebagaimana spirit yang pertama diatas, spirit hijrah yang kedua inipun kiranya penting untuk dhidupkan dan direfleksikan ke dalam jiwa kita dalam rangka menjalankan kehidupan beragama.
Spirit untuk menghijrahkan diri kepada kondisi yang lebih baik
dalam berbagai aspek kehidupan beragama. Baik dalam dimensi tatahubungan
hidup dengan Allah (hablun min-Allah), dengan sesama manusia (hablun
min an-naas) demikian pula tatahubungan hidup dengan lingkungan alam
semesta. Semangatnya mengacu kepada ungkapan sahabat Rasulullah s.a.w, Ali bin
Abi Thalib r.a.:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ اَمْسِهِ
فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلُ اَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ
يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ اَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُنُوْنَ
“Barangsiapa yang hari sekarangnya lebih baik dari hari kemarinnya maka dia termasuk orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang hari ininya sama saja dengan hari kemarinnya maka dia termasuk orang merugi. Dan barangsiapa yang hari ininya lebih buruk dari hari kemarinnya maka dia termasuk orang yang terlaknat”.
Bahkan
mungkin masih banyak pada diri kita. Mungkin berkaitan
dengan tatahubungan hidup kita dengan
Allah (hablun min-Allah) seperti tingkat ketaqwaan kita, ibadah kita,
kecintaan kita, taqarrub kita kepada Allah dan sebagainya. Mungkin pula
kekurangan-kekurangan dalam dimensi tatahubungan hidup kita degan sesama
manusia (hablun min an-naas), demikin pula dalam dimensi tatahubungan
hidup kita dengan lingkungan alam.
Untuk itulah, ada baiknya di bulan
Muharram sebagai awal Tahun Baru Hijriyah ini, kita lakukan muhasabah
(instrospeksi diri) disertai semangat dan tekad kuat untuk menghijrahkan diri
menuju kepada kondisi yang lebih baik bahkan kesempurnaan guna meraih kemenangan
di sisi Allah SWT. Setidak-tidaknya masuk kedalam katagori orang yang “raabihun”
(yang beruntung) sebagaimana dimaksud dalam fatwa Sayyidina Ali bi Abi Thalib diatas.
Semangatnya, “hari ini harus lebih
baik dari hari kemarin (yaumi khairan
min amsi)!.
Bisa berubahkah kita?
Jawabannya terpulang kepada sejauhmana niat, tekad dan upaya kongkrit kita,
sebagaimana diingatkan Allah dalam firman-Nya.
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS:Ar-Ra’d:11).
Dua spirit atau semangat yang telah kita bahas dimuka, merupakan spirit yang melatarbelakangi serta memotivasi keputusan berhijrah (spirit prahijrah). Ada spirit yang lain yang kiranya perlu pula disegarkan kembali perenungannya dalam memasuki bulan Muharram serta menyambut Tahun Baru Hijriyah ini.
Yaitu spirit pasca hijrah yang dipertunjukkan oleh
Rasulullah ketika beliau dengan segenap kaum Muslimin yang terdiri dari kaum
Anshar (kaum Muslimin yang sudah berada di Madinah) dan kaum Muhjirin (pendatang
dari Makkah), mulai membangun tatakehidupan di Madinah..
Sesampainya
Rasulullah SAW bersama kaum muslimin berhijrah ke Madinah, di kota Madinah
telah bermukim berbagai penduduk. Sebagian merupakan masyarakat Arab Muslim dan
sebagian lainnya adalah masyarakat Yahudi yang mengungsi dari Palestina untuk
menghindari kekejaman bangsa Romawi yang menguasai wilayah Palestina pada tahun
70 Masehi.
Untuk
membangun dan membina kerukunan hidup bermasyarakat dan beragama diantara berbagai
golongan masyarakat yang ada di Madinah tersebut, Rasulullah membuat perjanjian
dengan kaum Yahudi yang dikenal dengan nama “Perjanjian Madinah” yang isi pokoknya
antara lain:
1. Penduduk
Madinah, baik bangsa Arab maupun Yahudi bebas mengeluarkan pendapat, dan
masing-masing berhak menghukum orang-orang yang berbuat kerusakan dan
memberikan jaminan keamanan bagi yang patuh.
2. Masing-masing
golongan bebas untuk melakukan ibadah tanpa saling mengganggu.
3. Antara
golongan Madinah Muslim dengan golongan Yahudi harus saling bantu-membantu.
4. Saling
mengadakan kerjasama dalam mempertahankan Madinah jika diserang musuh.
5. Segala
perselisihan dan permasalahan yang timbul diserahkan kepada Rasulullah sebagai
pemimpin tertinggi.
Kita menangkap ada “spirit kebersamaan dan hidup berdampingan secara damai” dalam isi perjanjian tersebut. Hidup saling mengakui dan menerima, saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai, saling bertoleransi, satu sama lain. Mampu hidup bersama dan bersatu dalam keanekaragaman.
Inilah sisi lain dari spirit Muharram yang perlu kita renung
ulang dan kita gelorakan serta kita aplikasikan dalam tatakehidupan, sebagai perwujudan
dari “Islam Rahmatan Lil-‘Aalamiin”. Prinsip membangun
hidup berdampingan secara damai ini, diingatkan oleh Allah sebagaimana tersirat
dalam firman-Nya. .
“Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal”. (Q:Al-Hujurat:13)
Dari kemampuan dan kemauan saling kenal-mengenal satu sama lain, diharapkan dapat saling faham-memahami satu sama lain. Dari kemampuan dan kemauan saling faham-memahami satu sama lain diharapkan dapat saling mengakui dan menerima keberadaan (eksistensi) satu sama lain.
Dari kemampuan serta kemauan saling mengakui dan menerima eksisitensi satu sama lain diharapkan dapat saling hormat-menghormati dan harga–menghargai satu sama lain. Dari kemauan dan kemampuan saling harga-menghargai satu sama lain diharapkan dapat saling bertoleransi satu sama lain.
Puncaknya mau dan mampu hidup berdampingan secara damai dalam semangat
persaudaran, kebersamaan, persatuan serta kerukunan. Mau dan mampu hidup
menjadi satu dalam keanekaragaman.
Betapa indahnya ketika spirit Muharram atau spirit hijrah seperti ini dapat kita aplikasikan dalam tatakehidupan kita. Baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kitapun bangga ketika kita mampu menunjukkan serta meyakinkan kepada
dunia kehidupan manusia, bahwa kehadiran Islam serta ummat Islam adalah “Rahmatan
Lil ‘Aalamiin” bukan “Ancaman Lil ‘Aalamiin”. Insya Allah kita
harus bisa!.
Demikian sekapur sirih Renungan Spirit
Muharam kali ini, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu A’lamu bishshawab.
Share and Care
Religi
Religi
17 August 2022 - 05:54 wib
15 August 2022 - 16:50 wib
12 August 2022 - 10:27 wib
11 August 2022 - 06:29 wib
10 August 2022 - 08:52 wib
10 August 2022 - 07:22 wib
10 August 2022 - 06:10 wib
09 August 2022 - 09:38 wib
09 August 2022 - 06:02 wib
09 August 2022 - 05:45 wib